Oleh Nandang Burhanudin
Perdananews Aceh — Alkisah, ada dua budak bersahabat erat. Namanya Kafur Al-Ikhsyidi dan ‘Abidin Uswadin. Keduanya ditawarkan kepada Qatha’i bin Thulun, penguasa wialyah Mesir ketika itu. Dialog sesama teman terjadi:
“Aku pengennya dijual ke tuan baru, chef atau tukang masak. Agar aku bisa makan sesuka hati dan terbebas dari lapar dahaga”, celetuk ‘Abidin Uswadin.
“Ah aku mah gak gitu. Aku pengen menguasai selurh Mesir, supaya aku bisa menjadi penentu kebijakan public. Aku penentu hokum dan pemutusnya. Aku memerintah dan aku ditaati”, imajinasi Kafur membumbung tinggi.
Hari berganti minggu. Bulan berganti tahun. ‘Abidin meraih cita-citanya. Dijual kepada seorang tukang masak. Sedangkan Kafur menjadi hamba sahaya salah seorang pemimpin terkemuka Mesir.
Rezeki tak bisa ditampik. Untung tak bisa dibendung. Tuan baru Kafur, adalah sosok arif bijaksana yang mampu membaca potensi bawahan, bahkan budaknya. Kafur dikenali sebagai sosok potensial, memiliki kapasitas, juga jiwa leadership yang kokoh.
Kafur diberi peran. Potensinya diledakkan, hingga mampu menggantikan peran tuannya. Sang tuan tidak menganggap ia matahari kembar, atau pesaing dirinya. Justru ia merasa bahagia, bahwa hamba sahaya yang ia beli, kemudian bisa menjadi sosok mulia berkat dukungan dan peran dirinya.
Ajal tiba menjemput sang tuan. Kafur pun menggantikan posisi tuannya. Cerdika pandai, berintegritas, berkapasitas, mendorongnya menjadi pemimpin kepala. Kesungguhan Kafur menjadikan ia sosok penguasa de facto Mesir, Syam dan Mekkah Madinah.
Suatu hari, Kafur yang menjadi Perdana Menteri ketika itu, berpapasan dengan teman semasa menjadi budak. Ia melihat, ‘Abidin bekerja bersama tukang masak. Bekerja keras, sungguh-sungguh berpeluh lelah. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Dipekerjakan. Diperbabukan.
Kafur menasihati seluruh staffnya, “‘Abidin meraih apa yang ia cita-citakan. Maka tercapailah apa yang ia angankan, seperti yang kalian lihat. Sementara cita-citaku terbang tinggi. Kini aku meraih apa yang aku cita-citakan seperti yang kalian saksikan. Seandainya ‘Abidin memiliki cita-cita yang sama dengnaku, maka kami akan disatukan dalam satu purpose yang sama.”
Kisah ini menarik kita simak. Tidak penting potensi yang anda miliki, seperti pentingnya siapa yang mengenal dan menjadi tuan anda. Salah memilih tuan, potensi sehebat apapun akan diposisikan tak lebih dari babu, asisten, jundi, relawan, pejuang, untuk ambisi mereka-mereka para tuan status quo.
Sebaliknya, kendati potensi biasa-biasa saja, namun berada di tangan sosok leader yang “sudah tuntas dengan kepentingan diri dan keluarganya”, maka anda dan saya akan diajak terbang ke posisi yang tepat, akurat dan bermartabat.
Tentu lebih hebat, jika kita punya potensi luar biasa, bertemu dengan tuan yang bercuan dan siap menjadi mesin pendorong kemajuan kita di masa depan, maka dunia dan seisinya akan menjadi terlalu biasa.
Kawan, perjalanan hidup kita masing-masing, pasti menemukan sosok tuan yang relevan dengan cita-cita atau sebaliknya, sosok tuan yang menghambat dan mematikan cita-cita kita. Keduanya telah saya rasakan dan cukup jadi pelajaran.
Mari kembali meneliti siapa tuan kita. Karena di tangan tuan yang salah, kesungguhan dan potensi kita malah dianggap “saingan atau batu sandungan” bagi sosok tuan yang sibuk mencari cuan.